Sehari Menjadi Sultan Melayu Riau Di Pulau Penyengat

12/20/2018 10:41:00 AM


Dari Batam, Pulau Bintan bisa ditempuh sekitar 45 menit menggunakan kapal Fery. Bintan menjadi sebuah pulau yang tersohor di masa lalu karena dari sinilah kebudayaan Melayu bermula. Bukan tepat di pulau bintan atau kota tanjung pinangnya, melainkan di pulau kecil yang tak lebih besar dari pulau macan di kepuluan seribu, DKI Jakarta. Pulau itu bernama Penyengat, sebuah pusat kerjaan Riau-Lingga. Disini pula Raja Ali Haji menciptakan Gurindam 12 yang merupakan filosofi hidup masyarakat Melayu. 

Rupanya saya tidak terlalu paham dengan sejarah melayu di pulau Penyengat, makanya saya selalu ingin mengunjunginya sesegera mungkin. Saya tertarik dengan asal mula Bahasa Indonesia yang kita pakai saat ini yang merupakan varian dari bahasa melayu khususnya kerajaan Riau di Penyengat. Namun, jika ditelisik lebih jauh, bahasa Indonesia akan sangat berbeda dengan rumpun melayu karena mengalami banyak sekali penyerapan baik bahasa daerah maupun bahasa asing. Jadi jangan heran kalau telinga kita akan terasa asing dengan bahasa melayu. 

"Kita nyebrang pakai kapal."

Fitri, teman sekaligus guide pada saat ke Rote, menunjuk kapal yang ada ditengah pelabuhan kecil. 

"Yakin dengan kapal sekecil itu?"

Saya berbicara dalam hati karena takut terjadi apa-apa. Kalian tahu kan dengan kondisi tubuh yang berisi tumpukan lemak ini bisa membuat oleng kapal dan penumpang lainnya tidak selamat. 



Seperti layaknya Betawi yang memiliki corak cerah dan berwarna-warni, adat Melayu sangaat menonjolkan warna kuning dan hijau. Jadi jangan heran apabila birunya langit akan sangat jelas tergambar dengan hiasan awan putih. Walaupun panas menyengat, namun dahaga ini sudah terobati dengan seplatik es campur yang saya beli di jalan menuju masjid. 

Masyarakat menyebut masjid ini sebagai Masjid Raya Sultan Riau. Dari jauh bahkan dari pelabuhan sudah nampak menara masjid yang menjulang. Warna kuning yang mencolok membuat saya tak sabar untuk segera melihat keindahannya. 

"Ini Istana?"

Saya dan Fitri saling bertanya dan penasaran dengan bangunan yang sebetulnya masjid ini. Dari luar memang tidak seperti masjid melainkan istana. Namun, setelah dari dekat dan melihat sendiri papan nama, membuat saya manggut-manggut dan percaya bahwa inilah masjidnya.



Setelah masuk dan melihat banyak masyarakat yang berkumpul di teras, saya merasakan betapa tersohornya pulau ini di masa lampau. Rasanya berada di bangunan ini seperti berada pada beradab-abad lalu yang masih belum semodern sekarang. Mungkin penerangan atau lampu pun tidak semudah kita pada saat ini, dan akses transportasi pun masih sangat minim. Namun, melihat keindahan dan kemegahan bangunan-bangunan yang kini mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai World Heritage, seakan tidak berada di masa lampu, melainkan masa kini.

"Kita mau jalan?"

Lagi-lagi kami berdua saling bertanya  setelah keluar dari masjid. 

"Naik bentor aja."


Bentor itu singkatan dari becak dan motor, sebuah alat transportasi yang sudah modern. Becak yang ada di pulau penyengat sangat berbeda dari becak pada umumnya di pulau Jawa. Bentor ini bernuansa melayu sangat kental dengan ukiran serta warna-warna yang ngejreng. 

Kami menyewa bentor ini untuk keliling pulau dan melihat-lihat bangunan apa saja yang ada disini. Sebetulnya untuk menyusuri pulau ini sangatlah memungkinkan dengan jalan kaki, namun karena cuaca sangatlah panas, maka kami pun urung.



Rute selanjutnya adalah makam para Sultan atau Raja pendahulu yang dimakamkan di kompleks pemakaman para raja, mirip dengan Imogiri di Yogyakarta. Setelah ini kami melihat banyak bangunan pemerintahan, benteng, dan bangunan lainnya. 

Dan, sampailah kami di rumah ada khas Melayu yang berada di pesisir pantai yang tak jauh dari masjid dan pelabuhan. Dari desainnya mirip rumah khas betawi, hanya saja rumah betawi memiliki ruang tamu yang cukup luas dan tidak bergaya panggung. 



Dan, setelah masuk ke dalam, ternyata nuansa kerajaan Melayu pada masa lampau sangat terasa. Singasanaya sangat mencolok mata dengan nuansa warna-warni yang cerah. Rasanya ingin sekali merasakan menjadi Sultan di singgasana ini. Lagi-lagi ternyata harapan saya jadi kenyataan juga dengan kostum yang memang disewakan dengan harga lumayan terjangkau sekitar 25 ribu. Dan, untungnya lagi kostum ini muat dengan ukuran yang sangat besar. 

"Beri hormat untuk Sultan Salman."

Saya kemudian berjalan menuju singasana dan duduk. Sementara pengawal dan jenderal serta penasehat berada di samping singgasana. 

"Man, foto dulu."

Ah, sial saya harus terbangun dari khayalan yang lumayan membuat saya sumringah. 

"Oke!"

Kemudian saya mengabadikan beberapa pose yang sama dengan Sultan Melayu Riau. Cekrek! Cekrek! Bahagianya menjadi Sultan dalam sehari.


Barang siapa tiada memegang agama,sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,maka ia itulah orang yang ma'rifat
Barang siapa mengenal Allah,suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,tahulah Ia dunia mudarat.

Gurindam dua belas yang tersohor sebagai filosofi dari melayu. Banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil terutama dalam bertindak dan bermasyarakat, filosofi ini sangat kental dan telah diterapkan dalam hati setiap penduduk pada masa lampau. Sebetulnya Raja Ali Haji membuat Gurindam 12 tersebut berdasarkan nilai-nilai agama Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis. Inilah peninggalan yang mesti kita ambil positifnya dan belajar dari sejarah masa lampau.


Setelah lama kami berdua bergantian foto, ternyata pengunjung lain pun sama ingin berfoto. Mungkin kalau bisa direka adegan seperti ini.

"Sultan, aku ingin menjadi permaisuri."

Wanita itu tampak memohon.

"Tidak semudah itu maria mercedes."

Hahaha, reka adegaan ini hanyalah untuk menghibur saja ya. Setelah drama ini, ternyata masih ada drama lainnya setelah ini.

"Mana bentornya ya?"

Setelah keluar dari rumah adat, kami mencari bentor. Dan, hasilnya nihil. Jangan sampai kita jalan kaki dan melupakan jasa pengemudi yang telah menjadikan saya sebagai raja. Saya sempat panik, namun tetap berpikiran santai karena memang pulau tersebut tidaklah luas. 

Setelah dari spot selfie, kami kembali kedepan rumah adat. Dan, ternyata ada bentor lain yang menmanggil kami. Rupanya bentor tersebut bannya bocor dan harus ke bengkel. Jangan sampai karena berat badan saya menyebabkaan bannya bocor, hahaha.


Kami kembali ke tempat semula yaitu di depan Masjid Raya Sultan Riau. Antara senang dan tragis, namun tetap manis karena bisa merasakan singgasana Sultan Melayu Riau yang sangat bagus. Kemudian kami kembali ke pelabuhan dan melanjutkan petualangan di Tanjung Pinang, Pulau Bintan.

Sebelumnya saya telah menginap semalam di hotel daerah Tanjung Pinang yang sangat dekat dengan pelabuhan. Biasanya karena sangat padat jadwal, saya pesan melalui online atau aplikasi di pegipegi.com, banyak sekali pilihan hotel apabila tidak memungkinkan untuk mencari-cari sendiri. Selain itu juga banyak diskon yang bisa dinikmati untuk liburan akhir tahun dan tahun baru nanti.

Rasanya ingin sekali kembali menjadi Sultan dengan singgasana yang megah di Pulau Penyengat. Kalau kamu, apa hal yang ingin di lakukan di Pulau Penyengat dalam sehari? Ceritakan padaku. 

You Might Also Like

6 Comments

  1. Ganteng ya pakai baju kebesaran ala kerajaan. Beneran tuh emang kurang permaisurinya. Biar komplit plit plit.

    BalasHapus
  2. Wah sudah jadi raja sehari ternyata....gak rugi lah kan bayar 25 ribu buat gaya gaya di balai adat nya?

    BalasHapus
  3. Aih ada Sultan. Hormat sama Sultan ah. Sultan kapan ajak aku kesitu juga hehe.

    BalasHapus
  4. Seperti lagi di pelaminan ya foto nya hehe.Semoga aja di lain waktu aku bisa jalan-jalan bareng sama mas Salman yooo .

    BalasHapus
  5. Hahaha! Sultan kenal Maria Mercedes, ya? :p

    BalasHapus
  6. Kapan bisa kesana yakk ksSalman istananya mirip rumah biasa, sederhana

    BalasHapus