Akar Wangi, Aroma Perubahan dari Lereng Cikuray

9/06/2025 01:30:00 PM

 

Perjalanan menuju Kecamatan Cilawu, di kaki Gunung Cikuray, selalu menghadirkan pemandangan khas: kabut tipis yang menyelimuti jalan, sawah berundak hijau, dan deretan rumah sederhana yang berdiri di antara ladang. Namun di balik keindahan alam itu, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan masyarakat yang dulu hidup serba terbatas.

Mayoritas warga Cilawu dulu hanyalah buruh tani. Mereka menggarap sawah milik orang lain dengan upah harian yang bahkan sering kali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur. Anak-anak tumbuh dalam keterbatasan, banyak yang putus sekolah karena orang tua tak mampu membiayai. Pengetahuan pertanian pun minim. Menanam dilakukan seadanya, tanpa strategi, tanpa ilmu pengelolaan lahan.

Tanah banyak yang terlantar. Lahan-lahan milik pemerintah dibiarkan kosong, ditumbuhi semak belukar. Di saat yang sama, masyarakat hidup serba pas-pasan. Kontras sekali: tanah ada, tapi tak bisa dimanfaatkan. Seolah ada tembok besar yang menghalangi rakyat kecil untuk sejahtera di atas tanahnya sendiri.


Di tengah keputusasaan itulah, muncul secercah harapan: akar wangi. Awalnya, hanya sedikit yang tahu bahwa tanaman dengan aroma khas ini menyimpan nilai ekonomi tinggi. Bagi sebagian orang, akar wangi hanyalah rumput biasa. Namun ketika harganya mulai menembus pasar ekspor, pandangan pun berubah.

Serikat Petani Pasundan (SPP) kemudian hadir sebagai penggerak. Mereka mengajak masyarakat memanfaatkan lahan-lahan tidur untuk ditanami akar wangi. Tidak mudah, karena ada tekanan dari pihak-pihak yang merasa terusik, mulai dari preman hingga aparat. Tapi warga Cilawu memilih bertahan. Mereka percaya tanah yang terbengkalai seharusnya bisa menjadi sumber kehidupan rakyat, bukan hanya menunggu investor besar.

Dari situlah cerita baru dimulai. Warga yang tadinya buruh tani kini belajar menanam sebagai petani mandiri. Mereka tak hanya menanam akar wangi, tapi juga mengembangkan pola tumpang sari yaitu menanam sayuran atau palawija bersamaan dengan akar wangi, sehingga hasil panen lebih beragam. Perlahan, kesejahteraan mulai terasa.

Akar Wangi, Primadona dari Lereng Cikuray


Akar wangi atau vetiver sejatinya tanaman sederhana. Tingginya sekitar satu meter, daunnya seperti ilalang, tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan bunga atau tanaman hias lain. Namun jangan salah, akar yang tumbuh hingga tiga meter ke dalam tanah inilah yang menyimpan keistimewaan.

Pertama, akar wangi mampu menahan erosi. Di daerah pegunungan seperti Cilawu, hal ini sangat penting. Curah hujan tinggi sering kali menyebabkan longsor dan tanah hanyut. Dengan menanam akar wangi, tanah menjadi lebih kokoh, air lebih mudah terserap, dan lingkungan lebih lestari. Jadi, selain bernilai ekonomi, akar wangi juga berfungsi menjaga keseimbangan alam.


Kedua, minyak atsiri dari akar wangi adalah harta karun sesungguhnya. Proses menyulingnya tidak mudah. Dari satu ton akar kering, petani hanya mendapatkan 8–10 kilogram minyak. Namun harga jualnya bisa mencapai Rp2,7–5 juta per liter. Inilah yang menjadikan akar wangi Garut terkenal di pasar internasional.

Pasar Jepang, Eropa, hingga Singapura selalu mencari minyak akar wangi dari Cilawu. Aromanya kuat, khas, dan tahan lama, menjadikannya bahan baku penting industri parfum kelas dunia. Di rumah-rumah sederhana Cilawu, cerita tentang pembeli dari mancanegara bukan lagi dongeng jauh. Itu nyata. Dari ladang yang dulu dianggap tidak berharga, lahirlah komoditas yang melegenda.


Kini, hampir setiap keluarga di Cilawu memiliki lahan akar wangi. Hasilnya tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga membantu biaya sekolah anak-anak, memperbaiki rumah, bahkan sebagian bisa menabung. Akar wangi telah mengubah wajah desa. Dari yang dulu identik dengan kemiskinan, Cilawu kini dikenal sebagai sentra akar wangi dunia.

SPP, Pelopor Perubahan dan Pendidikan


Di balik kesuksesan akar wangi, ada peran besar Serikat Petani Pasundan (SPP). Didirikan pada tahun 2000, SPP awalnya lahir dari semangat Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut. Mereka melihat ketidakadilan: tanah luas terlantar, sementara rakyat kecil tidak punya akses. Dari sana, lahir gerakan yang memperjuangkan reforma agraria, dengan satu tujuan sederhana: tanah untuk rakyat.

Namun perjuangan SPP tidak berhenti pada penguasaan lahan. Mereka paham bahwa kunci sejati perubahan ada di pendidikan. Karena itu, SPP mulai membangun sekolah. Hingga kini, ada 13 sekolah yang berdiri berkat inisiatif dan swadaya, termasuk sebuah SMK gratis yang fokus pada pertanian. Anak-anak yang dulu tak punya harapan sekolah, kini bisa belajar dengan lebih layak.

Bahkan, SPP memiliki cita-cita besar: mendirikan universitas rakyat di Cilawu. Sebuah kampus yang tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga keterampilan bertani, wirausaha, dan kepemimpinan. Tujuannya jelas agar generasi muda Cilawu bisa membangun tanah kelahirannya sendiri tanpa harus pergi jauh.


Di sisi lain, SPP juga menjadi motor penggerak pembangunan fasilitas umum. Air bersih yang dulu sulit diakses, kini tersedia berkat gotong royong warga. Mereka bersama-sama menggali tanah, memasang pipa, dan membuat saluran. Jalan desa pun diperbaiki lewat iuran warga. Semua dilakukan tanpa menunggu bantuan besar dari luar.

Kehadiran SPP membuktikan satu hal: perubahan tidak harus datang dari atas. Dengan keberanian, solidaritas, dan visi jelas, masyarakat bisa membangun dari bawah.

Satu hal yang menarik di Cilawu adalah keterlibatan perempuan dalam perjuangan. Mereka tidak hanya berada di dapur, tetapi ikut hadir dalam rapat-rapat, menguasai lahan, bahkan memimpin desakan terhadap pemerintah agar segera menjalankan reforma agraria.

Aras Siti Halimah, misalnya, menjadi pergerakan penting yang menunjukkan bagaimana kontribusi perempuan bisa luar biasa. Dari pengolahan tanah hingga pendidikan, perempuan di Cilawu adalah pelopor. Mereka sadar, kesejahteraan keluarga tidak bisa menunggu, harus diperjuangkan bersama.

Di ladang akar wangi, tak jarang terlihat ibu-ibu ikut menanam, memanen, atau membantu proses pengolahan. Mereka juga menjadi suara penting di sekolah-sekolah SPP, memastikan anak-anak mereka mendapat akses pendidikan yang dulu tidak mereka nikmati. Perempuan Cilawu membuktikan bahwa gerakan ini bukan hanya milik laki-laki, tapi milik semua warga.

Harapan yang Terus Menyala


Perjalanan Cilawu masih panjang. Akar wangi telah membuka jalan, tapi tantangan selalu ada. Harga pasar yang fluktuatif, kebijakan pemerintah yang kadang tidak berpihak, hingga ancaman investor besar yang ingin menguasai lahan. Namun warga Cilawu kini lebih siap. Mereka punya pengalaman, solidaritas, dan organisasi yang kuat.

Harapan terbesar mereka sederhana: agar tanah tetap untuk rakyat, agar anak-anak bisa terus sekolah, dan agar kesejahteraan tidak hanya dinikmati segelintir orang.

Dari ladang akar wangi, cerita perjuangan ini mengalir. Setiap tetes minyak akar wangi bukan hanya bernilai rupiah, tetapi juga mewakili kerja keras, solidaritas, dan mimpi panjang masyarakat Cilawu.


You Might Also Like

0 Comments