Melawan Hoaks dan Krisis Iklim: Pelajaran dari COP30 Brazil untuk Indonesia

11/06/2025 03:05:00 PM

Sumber gambar : unsplash.com
 

Setiap detik, pohon tumbang. Setiap jam, jutaan flora fauna tak memiliki tempat di muka bumi ini. Setiap hari, banyak video menyatakan bahwa produk-produknya aman bagi lingkungan, padahal malah sebaliknya. Mau sampai kapan pembohongan publik demi keuntungan terus digalakan? Apakah sampai anak cucu bahkan generasi berikutnya merasakan krisis iklim bahkan krisis pangan? 


Melihat 20 tahun kebelakang, saya memiliki masa bermain yang indah. Saya berlarian di tanah lapang dan sungai. Semuanya masih hijau karena banyak pepohonan, bahkan saya sering bermain di ladang. Saya biasa menangkap jangkrik atau capung yang hinggap di dahan. Masa itu seperti sangat susah untuk diulang, karena lahan-lahan hijau itu telah berubah menjadi beton dan bangunan. Lahan hijau mulai berkurang dengan sangat masif belakangan ini. 


Menurut penelitian dari CfDS UGM (2024), hampir seperempat masyarakat Indonesia percaya bahwa krisis iklim adalah rekayasa penguasa global. Ini langsung memberikan gambaran bahwa hoaks iklim bukan cuma “masalah luar negeri”, tapi nyata di Indonesia.


Ternyata krisis iklim dan deforestasi bukan hanya di Indonesia saja, Brazil pun memiliki problematika sama. Brazil memiliki hutan Amazon, sebagai paru-paru dunia, memiliki tantangan sangat pelik. Hutan ditebang, flora fauna tergerus dan banyak disinformasi tentang krisis iklim dan deforestasi. 


Dalam kurun waktu puluhan tahun, hutan Amazon telah mengalami deforestasi tak sedikit, hitungan ribuan kilometer hutan dibabat tanpa ampun atas nama modernisasi. Kerusakan hutan Amazon bukan hanya soal vegetasi hilang, tapi juga fungsi penyerapan karbon, regulasi curah hujan, dan keanekaragaman hayati. 


Berbagai permasalahan tersebut membutuhkan sebuah gebrakan bukan hanya oleh satu dua pihak, namun seluruh masyarakat dunia yang peduli akan masa depan bumi ini. November nanti, COP30 akan diadakan di Belem, Brazil, sebagai bentuk perjuangan untuk menyuarakan betapa pentingnya satu pohon bagi kehidupan manusia. 


Dari Amazon ke Nusantara



Mentira tem Preço, setiap kebohongan ada harganya. Brazil memiliki hutan Amazon, salah satu hutan terluas di dunia. Paru-paru dunia yang sangat penting, namun terancam oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab atas nama modernisasi. Rantai ekonomi dibalik disinformasi inilah penyebab utama krisis iklim. Maraknya disinformasi inilah yang menggerakan FALA Estúdio de Impacto untuk menunjukan bahwa terjadi pergolakan untuk menyelamatkan krisis iklim baik di meja negosiasi maupun di media informasi dan media sosial. 


Dalam Investigasi oleh FALA Estúdio de Impacto & Observatório de Integridade da Informação (Oii) menemukan bahwa terdapat jejaring pembiayaan dari perusahaan minyak dan pertambangan yang mendukung konten “anti-iklim” di media digital. Dan setiap tahun, platform media sosial memperoleh US$ 13,4 juta dari iklan kanal yang menyebarkan hoaks iklim.


Serupa dengan Brazil, Indonesia pun memiliki permasalahan serupa. Dengan banyaknya pengguna media sosial, Indonesia rawan dengan disinformasi tentang berbagai hal seperti krisis iklim, gelombang panas, salju di tropis atau CO2 tidak berbahaya, seluruh informasi tersampaikan secara tidak benar. Ketidakjelasan informasi tentu saja membuat masyarakat antipati dengan kebijakan pro iklim yang sulit dipahami.


Tak hanya itu, langkah-langkah mitigasi atau adaptasi untuk mencegah krisis iklim pun tak selalu didukung bahkan sebagian masyarakat menentang. Akibat disinformasi ini, menurut Bappenas 2023, kerugian dari potensi ekonomi akibat perubahan iklim di pesisir, laut, pertanian, ketersediaan air, kesehatan dan lainnya mencapai Rp 554 Triliun. 

Melawan Hoaks dan Krisis Iklim di COP 30 Brazil


Kalau berbicara hoaks dan krisis iklim, mata dunia tertuju pada satu forum yaitu Conference of the Parties (COP). Sebuah forum pertemuan tahunan di mana negara-negara berkumpul untuk membahas nasib bumi mulai dari bagaimana menekan emisi karbon, menjaga hutan dan transisi energi hijau. 


Perjalanan COP dimulai jauh di tahun 1995 di Berlin, saat isu perubahan iklim baru dianggap masalah ilmuwan. Namun, seiring waktu, dampaknya makin nyata mulai dari es mencair, cuaca ekstrem meningkat, dan bencana alam datang silih berganti. 


Momen penting terjadi di COP3 Kyoto (1997) dengan lahirnya Protokol Kyoto, yang untuk pertama kalinya mengikat negara-negara maju agar mengurangi emisi. Lalu, dua dekade kemudian, dunia menyaksikan sejarah baru di COP21 Paris (2015) di mana 195 negara sepakat menandatangani Perjanjian Paris. Intinya sederhana tapi krusial yaitu menjaga agar suhu bumi tidak naik lebih dari 1,5°C.


Setelah itu, terjadi tarik menarik antara janji dan aksi yang telah disepakati bersama. Beberapa negara masih bergantung pada energi fosil, sementara transformasi energi hijau masih tersandung kepentingan ekonomi.


Kini, dunia bersiap menuju COP30 di Brasil pada 2025, sebuah titik penting dalam evaluasi komitmen Net Zero Emission 2050. Brasil, dengan Hutan Amazon-nya yang menjadi paru-paru dunia, akan jadi tuan rumah sekaligus pusat perhatian. Disinilah harapan untuk menanggulangi krisis iklim dan transformasi energi hijau disuarakan kembali untuk menjaga keberlangsungan bumi tercinta. 


Menjelang COP30 di Brazil, Indonesia datang bukan sekadar sebagai peserta, tapi sebagai contoh nyata negara berkembang yang berani bertransformasi. Dalam Paviliun Indonesia nanti, Indonesia akan menegaskan bahwa emisi net-zero bukan pepesan kosong, seperti yang ditegaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini tentang tanggung jawab kolektif bagaimana negara, korporasi, dan masyarakat bisa bergerak serentak menjaga bumi.


Karena COP bukan lagi sekadar konferensi, namun merupakan perjalanan panjang untuk menjaga bumi supaya layak dihuni oleh generasi mendatang. Dan mungkin, di COP30 nanti, kita bisa benar-benar membuktikan bahwa janji untuk bumi bukan sekedar kata, tapi langkah nyata bersama.


You Might Also Like

0 Comments