Ketika Hiu Bisa Bicara: SeeShark, Teknologi AI Penyelamat Laut Kita
11/18/2025 10:22:00 PMNamaku Sphyrna, aku terlahir di perairan laut Jawa, di antara ratusan saudara kecil yang berenang membentuk gerombolan. Tak seperti temanku, mata dan lubang hidungku berada di ujung kepala. Kepalaku lonjong seperti martil, walau bentuk kepalaku unik tapi akulah penjaga keseimbangan di lautan lepas. Namun mirisnya, aku jugalah yang paling diburu.
Saat tubuhku belum genap satu meter, ketika hidupku belum dimulai, jaring besar itu menutup langit biru di atas permukaan air. Aku ditarik ke dek kapal bersama puluhan saudara dan teman-teman, semuanya belum dewasa. Aku belum sempat tumbuh, belum sempat mengembalikan satupun kehidupan ke laut yang melahirkanku.
Aku dilindungi, setidaknya dalam aturan manusia. Namun di pelabuhan, tubuhku dipotong tanpa ragu, siripku ditimbang dengan cepat. Tidak ada yang bertanya apakah aku martil harus dijaga, atau dilarang diperdagangkan. Tidak ada yang peduli, berempati apalagi mengembalikan aku ke lautan lepas.
Sampai suatu hari, seorang pemuda dari Banyuwangi bernama Oka Bayu Pratama, menyadari bahwa permasalahan utamanya bukan hanya penangkapan namun karena ketidaktahuan. Aku mati bukan karena kejahatan, namun karena manusia tidak bisa membedakan dari jenis ikan lainnya di lautan luas.
Saat Hiu diburu, Hati Oka Bayu Pratama Membeku
Angin laut membelai rambut pendek seorang pemuda di pelabuhan Banyuwangi. Ia membetulkan posisi kacamata, sambil terus mengamati perahu nelayan mendekati bibir dermaga. Tiap harinya, ratusan ton ikan berhasil ditangkap oleh nelayan hingga akhirnya dipasarkan pelelangan ikan di Pancer, Muncar, dan Grajagan, Kabupaten Banyuwangi. Ikan tuna, tenggiri, tongkol, kembung, kakap dan cakalang merupakan hasil tangkapan disamping ikan lemuru, sang primadona di perairan selat Bali.
“Banyak sekali overfishing yang terjadi di Indonesia, semua ikan yang nilai jualnya tinggi dan banyak pasarnya,” Jelas Oka Bayu dengan menggebu-gebu.
Lemuru, bak artis ternama sangat populer dikalangan ibu-ibu rumah tangga dan anak kos saat tanggal tua. Sardinella Lemuru telah menjadi komoditas unggulan Banyuwangi, tak dipungkiri dari tahun ke tahun permintaan semakin banyak karena menjadi konsumsi skala nasional. Permintaan banyak sehingga nelayan pun melakukan penangkapan secara besar-besaran sehingga terjadi overfishing.
Dalam 2024, Kabupaten Banyuwangi menyumbang 30.534 kg hasil tangkapan, sekitar 46,12 persen tangkapan ikan lemuru di Indonesia. Disamping itu, penangkapan ikan lemuru telah melampaui jumlah tangkap yang diperbolehkan secara ekonomi sehingga mengancam keberlanjutan populasi ikan apabila tidak dilakukan dengan hati-hati (Jurnal Akuatiklestari, 2025).
“Karena overfishing lemuru, akibatnya harus mendatangkan ikan dari India karena lemuru membutuhkan waktu bereproduksi kembali,” Ucap Oka Bayu trenyuh.
Jaring-jaring kuat dan rapat ditarik oleh nelayan kemudian dimasukan ke dalam dek kapal. Pukat cincin, sebuah jaring menyerupai kantong besar melingkari dan mengurung gerombolan ikan. Kemudian, dengan satu tarikan saja di bagian bawah, baik ikan besar maupun kecil tidak bisa meloloskan diri. Mirisnya, bukan hanya ikan lemuru ataupun jenis ikan yang bisa dikonsumsi saja, namun ikan hiu pun turut terjaring.
Seorang nelayan mengangkut hasil tangkapan menuju tempat pelelangan ikan. Hasil tangkapannya melimpah terutama ikan lemuru. Hati Oka Bayu Pratama terpacu saat melihat ke arah lantai. Kumpulan ikan-ikan hasil tangkapan nelayan ternyata bukan ikan layak konsumsi, namun ikan hiu yang dilindungi.
“Hiu-hiu sudah dipotong sehingga tinggal sirip bahkan tinggal kulitnya karena dicacah,” Ungkap Oka Bayu.
Hiu-hiu yang terjaring pukat, dipotong-potong bagian tubuhnya. Sirip dan bagian berharga dipisahkan untuk dijual. Sementara, potongan tubuh ikan sudah tak berbentuk sehingga tak bisa dikenali lagi sebagai hiu.
“Ternyata justru yang ditangkap itu hiu-hiu yang dilindungi dan dibatasi bahkan di kuota, namun di lapangan masih belum ada pengawasan yang ketat,” Tambah Oka Bayu berkaca-kaca.
Panggilan Hati, Oka Bayu Pratama Bergerak Meneliti
Luasnya laut Indonesia, tersimpan kekayaan satwa laut terutama ikan dilindungi seperti hiu, penyu, pari dan duyung. Namun, mirisnya menurut TRAFFIC (Komite Pemantau Perdagangan Satwa Liar Internasional), Indonesia merupakan penangkap hiu terbesar di dunia, setiap tahunnya bisa menangkap 110.737 hiu dan menyumbang sekitar 16,8% dari total tangkapan hiu di dunia. Sebetulnya, ikan-ikan tersebut dilindungi oleh beberapa peraturan salah satunya Keputusan Menteri No. 66 tahun 2025. Ikan hiu yang dilindungi antara lain Hiu Paus, Hiu Berjalan, Hiu Martil, dan Hiu Koboi.
Fakta dilapangan berbeda 180 derajat dari peraturan yang dibuat. Selagi permintaan pasar masih banyak, sebanyak apapun peraturan yang disampaikan tak akan digubris. Bahkan petugas di lapangan pun tidak bisa mengidentifikasi ikan hiu karena faktor ketidaktahuan dan keterbatasan teknologi dalam identifikasi hiu dan jenis ikan lainnya. Hal inilah yang mengusik Oka Bayu Pratama.
“Sebagai orang perikanan yang bisa IT, saya ingin berkontribusi untuk permasalahan yang urgen untuk diselesaikan,” Oka Bayu memaparkan keinginan berkontribusi melalui identifikasi ikan hiu melalui teknologi IT dan AI.
Semangat pemuda asal Desa Bayu, Banyuwangi menggebu. Berbekal latar belakang Akuakultur Universitas Airlangga, Oka Bayu pun melakukan survey dan studi terlebih dahulu. Bahkan biaya penelitian dan pengembangan aplikasi dibiayai dari hasil budidaya lele yang ia jalankan, baru kemudian ia mendapatkan dukungan dana penelitian dari organisasi non profit bernama Indonesian Youth Elasmobranch Scholarship (IYES). Kebetulan IYES mendukung penelitian terkait hiu dan pari di Indonesia.
“Sebetulnya, ekspektasi saya ketika di pelabuhan besar di Jawa Timur itu tidak terjadi penangkapan hiu. Justru ketika saya disana, mirisnya hiu disana banyak ditangkap bahkan seharusnya dilindungi,” Ujar Oka Bayu mengungkapkan fakta dilapangan ketika mengunjungi pelabuhan di Lamongan, Jawa Timur.
Tak hanya itu, petugas pendata pun hanya melakukan tugas identifikasi ikan hanya beberapa kali dalam sebulan. Tidak ada metode khusus dalam mengidentifikasi, hanya dilakukan beberapa sampel sehingga tidak efektif dalam mengenali hiu-hiu yang dilindungi.
Dalam perjalanan survey ke beberapa daerah seperti Banyuwangi, Lamongan dan Lombok Timur, Oka Bayu sebetulnya masih sangsi, apakah bisa memecahkan permasalahan yang terjadi di lapangan mulai dari proses identifikasi dengan kondisi pengambilan data, kondisi masyarakat dan berbagai macam kendala di lapangan.
SeeShark, Aplikasi AI Identifikasi Hiu Pertama di Dunia
Berkat usaha kerasnya kurang dari setahun, SeeShark lahir sebagai salah satu aplikasi AI untuk mengidentifikasi spesies hiu secara akurat. Saat ini SeeShark memiliki database lebih dari 9.600 gambar hiu dari 10 jenis spesies hiu yang dilindungi dan paling rentan dieksploitasi dengan tingkat akurasi 95,3 persen sehingga sangat membantu petugas di pelabuhan dalam proses pengidentifikasi hiu-hiu tersebut.
“SeeShark itu pertama di dunia. Identifikasi hiu melalui potongan tubuh dan kulit dengan AI, tidak ada yang pernah melakukannya sebelumnya,” Ucap Oka Bayu dengan semangat.
Sebelum SeeShark, Food and Agriculture Organization (FOA) of United Nation terlebih dahulu menciptakan ISharkFin, sebuah teknologi identifikasi spesies hiu dengan sirip hiu dengan mengunggah foto sirip dorsal atau pectoral. Namun, fakta di lapangan terutama di pelabuhan Indonesia, sirip hiu sudah dipisahkan dan hanya tersisa potongan hiu saja sehingga sulit diidentifikasi. SeeShark menggunakan teknologi AI dan mampu mengidentifikasi hiu hanya dari sirip, potongan tubuh atau kulit.
Dalam hitungan detik, sistem AI memproses pola kulit, bentuk potongan, dan tekstur yang tidak bisa dikenali mata manusia, kemudian menampilkan hasil identifikasi spesies beserta status perlindungannya. Dengan cara sederhana ini, petugas dapat segera mengetahui apakah potongan tersebut berasal dari hiu yang dilindungi, tanpa perlu alat khusus atau keahlian identifikasi manual yang rumit.
“Kami mengutamakan user experience. Bahkan orang awam bisa mengidentifikasi hiu hanya dengan memotret dan mengunggah gambarnya.”
Bukan hanya petugas di pelabuhan dan pemerintah, namun masyarakat pun bisa menggunakan aplikasi SeeShark dengan leluasa, sehingga pengawasan dan partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan.
Antara Tradisi dan Kecantikan Diri, Hiu pun Banyak Dicari
Namaku Sphyrna, saat di pelabuhan aku berpisah dengan saudara dan temanku. Tubuhku tertupuk dengan ikan lain. Sulit rasanya melepaskan diri. Aku melihat satu persatu tubuh saudaraku dipotong dipisahkan sirip dan potongan tubuh lain. Bagi sebagian penduduk Indonesia, potongan tubuhku bisa mengundang kemakmuran dan kesejahteraan.
Aku pun mendengar orang berbicara, “Squalene juga banyak yang cari.”
Bukan hanya siripku saja, namun minyak hatiku ternyata diburu untuk dijadikan produk kecantikan. Bagi manusia, ternyata kecantikan itu dibayar mahal dengan mengorbankanku.
***
“Selama permintaannya tinggi, hiu akan tetap ditangkap,” Ungkap Oka Bayu mengenai masih maraknya penangkapan hiu di Indonesia.
Di sebagian wilayah Indonesia, hiu merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Pada perayaan hari tertentu, mengkonsumsi sirip ikan hiu diyakini bisa membawa keberuntungan dan bagian dari ucapan rasa syukur atas kehidupan selama ini. Bukan hanya simbol kemakmuran, sirip hiu juga dipercaya sebagai bagian menunjukan status sosial.
Saat melihat etalase toko online, mata tertuju pada produk kecantikan dengan bahan minyak squalene. Bukan hanya satu atau dua produk, namun banyak produk minyak squalene bisa bebas diperjualbelikan. Minyak squalene berasal dari minyak hati ikan hiu. Produk kecantikan dan kesehatan masih banyak yang menggunakan squalene.
“Kami tidak ingin menyalahkan nelayan. Mereka bekerja karena ada permintaan. Kami ingin membantu mereka mendapatkan penghasilan yang lebih baik dengan cara yang lebih baik.”
Selama ini, nelayan memenuhi permintaan dari pasar skala nasional. Jika permintaan masih terus menerus berdatangan, maka nelayan pun akan berusaha memenuhinya. Faktor ekonomi dan supply demand masih menjadi momok bagi SeeShark dan komunitas konservasi hiu. Apalagi jika ingin mengurai jalur perdagangan hiu, resikonya sangat berat karena terkoneksi dengan perusahan besar yang menguasai Indonesia.
“Perusahaan-perusahaan harus mulai beralih. Squalene bisa dari zaitun, bahkan dari mikroalga. Tidak harus dari hiu.”
Oka Bayu berharap perusahaan-perusahaan kosmetik dan suplemen dengan bahan dasar squalene bisa beralih menggunakan bahan plant base. Indonesia memiliki keragaman hayati, sehingga banyak sekali alternatif minyak squalene dari zaitun dan mikroalga.
“Karena itu kami menyasar hilir berupa audit dan regulasi untuk produk kosmetik dari squalene dan produk jadi.”
Tak berhenti sampai disitu, Oka juga mendorong berbagai regulasi jelas agar perusahaan-perusahaan tidak menggunakan bahan baku squalene dengan audit, sertifikasi seperti ISO dan regulasi ketat di skala nasional seperti peraturan pemerintah atau undang-undang.
“Kami tidak ingin membatasi nelayan, karena mereka punya hak untuk menangkap ikan termasuk hiu, namun memang ada batasan.”
Oka Bayu mengungkapkan bahwa nelayan sebetulnya tidak memiliki pilihan karena faktor ekonomi. SeeShark dan komunitas serta NGO pun kedepannya bisa melakukan tindakan berupa regulasi jelas dan bisa membuka peluang baru dari penangkapan hiu ke produk lain yaitu squalene seperti zaitun dan mikroalga. Bukan hanya membuka peluang ekonomi, namun ekosistem di laut pun akan semakin membaik sehingga ikan-ikan pun melimpah.
Inovasi Besar Lahir Dari Desa Bayu
Setelah SeeShark lahir, dampak luar biasa terasa. Upaya Oka Bayu Pratama mengenalkan inovasi berupa aplikasi pendeteksi hiu berbasis kecerdasan buatan (AI) membuahkan hasil mendapatkan apresiasi dari SATU Indonesia Awards 2025 dalam kategori Teknologi Tepat Guna.
“Saya hanya ingin membuktikan bahwa inovasi besar bisa lahir dari desa, dari tangan-tangan yang mau bekerja keras,” ujar Oka.
Oka berhasil menyisihkan 17.700 pendaftar dari seluruh Indonesia. Karya inovasi lahir dari sebuah desa, yang ternyata memberikan dampak luar biasa bagi keberlangsungan kehidupan hiu yang dilindungi.
“Dari kolam lele, Oka berhasil menciptakan inovasi berkelas skala nasional. “
Ketua Garda Lestari, Andri Saputra mengungkapkan bahwa inovasi bisa lahir dari kesederhanaan dan perjuangan Oka ini bisa menginspirasi pemuda-pemuda di seluruh Indonesia untuk menciptakan inovasi dari kegelisahan dan kegalauan dari berbagai permasalahan yang dihadapi di kehidupan sehari-hari.
***
Namaku Sphyrna, tubuhku kembali merasakan arus hangat yang memeluk siripku. Dari kejauhan, kulihat pemuda berkacamata itu berdiri, menatap laut yang sama yang pernah hampir merenggut hidupku. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi tindakannya sudah cukup, ia mengenaliku bukan sekadar sebagai ikan, melainkan sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga.
Air mengalir melewati kepalaku yang berbentuk martil. Rasanya seperti nafas kedua. Rasanya seperti kesempatan untuk tumbuh dan suatu hari, melahirkan kehidupan baru di laut ini.
Terima kasih, manusia muda. Semoga langkahmu menjadi awal dari ribuan langkah lain, agar aku tidak lagi menjadi angka tanpa nama di pelabuhan. Semoga semakin banyak orang yang mau melihat, mengenali, dan melepaskanku kembali.
Laut ini milik kita bersama. Jika aku terus hidup, maka kehidupan manusia pun akan terus berlanjut.
Sumber Referensi :
Wawancara dengan Oka Bayu Pratama
Windra Neka, Mochammad Fattah, Dwi Sofiati, Asyifa Anandya: Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur (Jurnal Akuatiklestari, 2025)
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 66 tahun 2025
Sumber dokumentasi :
Foto diambil dari unsplash.com dan Dokumentasi Oka Bayu Pratama (SeeShark).







0 Comments