Diantara Minuman Kekinian dan Mukbang, Gizi Seimbang Milenial Kian Menantang

9/09/2022 12:52:00 AM



Hari ini dimulai dengan alarm yang berbunyi. Mata ini terasa berat banget, tapi akhirnya bangun. Handphone yang berada disebelah tempat tidur pun segera saya ambil. Scroll instagram, tiktok dan social media lain. Mata ini pun langsung tertuju pada minuman kekinian yang sangat tren. Selain itu, mukbang pun menjadi konten yang sangat menyenangkan, bukan karena jumlah makanannya, melainkan konten yang disuguhkan terasa sangat beda dan menyenangkan melihat orang makan dengan porsi besar dan pedas. Di perjalanan pun saya tetap membuka social media, dan lagi-lagi mendapati minuman dan makanan kekinian terus menerus mendera. Dan, disaat rebahan di kasur setelah seharian bekerja, lintasan dunia maya pun bertebaran minuman dan makanan kekinian. 

Minuman kekinian dan mukbang, kini menjelma menjadi hal yang mengisi hari-hari kawula muda atau Generasi Milenial. Tak hanya milenial, yang muda maupun tua pun kini terpengaruh dan mulai mengemari minuman kekinian ataupun mukbang. Social media pun turut menjadi sumber pengaruh yang lekat di kehidupan sehari-hari. Saya pun termasuk yang terpengaruh dan otomatis ikut mencoba segala macam minuman kekinian dan makanan yang penuh dengan rasa-rasa yang luar biasa. Bayangkan jika setiap hari mengonsumsi secara terus menerus, maka tidak baik bagi kesehatan. 

Masalah Gizi Seimbang Milenial Dan Masyarakat

Minuman kekinian dan mukbang, tren yang beredar di masyarakat mau tidak mau turut memberikan kontrubusi terhadap banyak hal terutama pemilihan dan pemenuhan gizi. Gizi yang dihasilkan dari minuman dan makanan kekinian ini tidak seimbang dan cenderung mengakibatkan banyak permasalahan kesehatan. Disamping itu, ibu hamil pun tidak memperhatikan pemenuhan gizi baik bagi dirinya maupun si jabang bayi yang sedang dikandung. Padahal, sangat diarankan untuk memenuhi gizi seimbang pada 1000 hari pertama karena sangat krusial. Jika tidak tercukupi gizinya, maka bayi yang dilahirkan pun akan mengalami stunting. Belakangan ini, angka stunting di Indonesia cukup menurun.

Menurunkan angka stunting dan gizi buruk masih menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah saat ini. Pasalnya. Presiden Joko Widodo menargetkan penurunan hingga dibawah 14 persen pada tahun 2024. Sementara, Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia pada 2021 sebesar 24,4%. 

Stunting masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Indonesia, padahal jika dilihat dari kemajuan teknologi dan informasi, sebetulnya permasalahan ini mungkin bisa ditekan dengan adanya penyebarluasan akses informasi mengenai pencegahan stunting dan mulai menerapkan gizi seimbang yang juga dikenal sebagai isi piringku. Dan berbagai program juga telah dilakukan diantaranya PBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga telah menjalankan sejumlah program seperti Bapak Asuh, Dapur Sehat, Pendampingan Calon Pengantin, Kelas Pengasuhan Bina Keluarga Balita (BKB). 

Meski demikian, upaya-upaya pencegahan stunting berupa edukasi gizi yang menyasar langsung ke masyarakat perlu terus menerus di lakukan. Salah satunya adalah dengan melibatkan generasi muda dan milenial menjadi agen of change di masyarakat. 

Milenial Generasi Sadar Gizi


Bertempat di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dilakukan perbincangan menarik seputar pemenuhan gizi seimbang terutama untuk generasi Milenial. Generasi milenial ini adalah calon pemimpin masa depan dan pada tahun 2040 nanti akan menjadi tahun terpenting karena Indonesia diprediksi memasuki generasi emas. Maka YAICI melakukan langkah strategis dengan mengadakan road show ke Tangerang Selatan dan Surabaya nantinya.

Ketua Harian Yayasan Abhipraya Indonesia (YAICI) Arif Hdayat mengatakan bahwa mahasiswa merupakan pondasi masa depan terkait edukasi dan literasi gizi yang baik untuk masyarakat. 

Wakil Rektor IV Bidang Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Jakarta, DR. Septa Candra, S. H., M. H., mengapresiasi upaya-upaya edukasi gizi, terutama yang mrlibatkan mahasiswa dan generasi muda. Ia menyadari generasi muda masih belim memiliki perhatian terhadap persoalan gizi. Banyak dari mereka yang berpikir gizi merupakan persoalan yang seharusnya diurus oleh orang tua, bukan generasi muda. 


Selain itu, Kang Maman Suherman, pengiat literasi sangat concern dengan masalah literasi di Indonesia terutama kalangan milenial. Indonesia memiliki minat baca yang sangat buruk, bahkan hanya lebih baik dari satu negara lain yaitu diperingkat 60 dari 61 negara. Padahal, secara pemakaian gadget dan internet, Indonesia sangat besar. Potensi dan kelemahan ini memang sangat mengherankan, namun dengan begitu di dunia maya terdapat banyak informasi yang tidak benar dan cenderung menyesatkan sehingga perlu dilakukan banyak filter untuk menyaring berita hoax tersebut.

Selain itu Kang Maman menyoroti kekuatan social media sebagai salah satu cara untuk menularkan kebaikan dan fakta, dan harus dimulai dari generasi milenial. Karena dengan kekuatan berpuluh-puluh orang yang dengan konsisten menyatakan bahwa SKM itu bukan susu, maka secara tidak sadar masyarakat pun akan mengikuti pernyataan tersebut. Jadi, apapun hal yang akan disampaikan selama itu benar dan tidak melanggar apapun, dengan konsisten disuarakan maka akan tersampaikan kepada masyarakat. 


dr Nyimas Heny Purwati, M. kep., Ns., Sp. Kep. An., menjelaskan bahwa pemberian kental manis sebagai pengganti susu untuk pemenuhan gizi merupakan hal yang salah. Lebih lanjut Nyimas menegaskan, jika ingin mencetak generasi emas yang sesuai target di tahun 2045, edukasi gizi perlu dilakukan sejak calon ibu atau remaja saat ini. 

Pertemuan kali ini ditutup dengan dongeng dari Kak Awam yang menceritakan tentang perlombaan antara kura-kura dan kelinci. Pada perlombaan awal, Kura-kurang yang konsisten berjalan dan kelinci yang ketiduran pun membuat kura-kura menang, selanjutnya pertandingan kedua kelinci pun langsung tancap gas. Sedangkan, pada pertandingan ketiga akan dilakukan di sungai. Awalnya kura-kura berenang di sungai meninggalkan kura-kura, namun pada akhirnya kura-kura menjemput kelinci dan bersama-sama menyebrangi sungai. Mereka berdua menang secara bersama-sama. Dari dongeng ini kita mendapatkan pelajaran bahwa untuk meraih apa yang diharapkan terutama gerakan ini dibutuhkan gerakan bersama-sama dan secara konsisten sehingga masyarakat pun ikut tergerak. 

Tentang YACI

Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) lahir dari sebuah harapan besar dari beberapa perempuan yang peduli akan kondisi sebagian besar anak anak dan perempuan di Indonesia yang tinggal dengan standar kesehatan, pendidikan dan lingkungan yang minim. Meningkatkan derajat kesehatan dan pengetahuan perempuan Indonesia sebagai ujung tombak dalam keluarga sehingga mampu menumbuhkan anak-anak yang sehat, cerdas dan berbudi pekerti luhur. Dengan kualitas SDM dan jaringan yang memadai YAICI mampu berekspresi dalam mendorong terwujudnya masyarakat Indonesia yang berkualitas.

Kontak
Arif Hidayat , Ketua Harian YAICI 
+62 859-2120-0979





You Might Also Like

0 Comments